Persoona.id – Dua tokoh dengan pengaruh besar, tapi bukan pemegang mandat rakyat bertarung dalam perang narasi terbuka yang memancing kegelisahan publik.

Hercules Rosario de Marshall, Ketua Umum GRIB Jaya, mengancam akan mengerahkan 50 ribu massa ke Gedung Sate jika Gubernur Dedi Mulyadi tidak merangkul ormas.

Mardigu Wowiek Prasantyo alias Bossman, Komisaris Utama Independen Bank BJB, membalas lewat unggahan di Instagram:

Baca juga : Ketua Komisi I Soroti Seleksi JPT Pemprov Jabar, Tekankan Merit System dan Kompetensi

“Penduduk Jabar 50 juta nggak akan tinggal diam!”

Rakyat hanya bisa geleng-geleng kepala. Ketika yang satu bicara pengerahan dan yang lain mengklaim representasi massa, publik pun bertanya-tanya: atas nama siapa mereka bicara?

Ketua Komisi I DPRD Jabar, Rahmat Hidayat Djati, angkat bicara menyikapi eskalasi ini. Dalam pernyataan resmi, Rahmat menilai situasi sudah mengarah ke benturan kepentingan bertameng rakyat.

“Perang urat saraf antara Hercules GRIB dan Mardigu Wowo Bossman Komisaris BJB harap segera disudahi karena berpotensi membenturkan kepentingan bertameng rakyat Jabar,” ujarnya dalam keterangan tertulis, Rabu (1/5).

Ia menegaskan bahwa sistem pemerintahan daerah harus kembali kepada relnya—dipimpin oleh gubernur dan DPRD sebagai pemegang mandat konstitusional.

“Sistem pemerintahan daerah harus segera didudukkan dan dijalankan oleh gubernur/kepala daerah bersama DPRD sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Tak hanya itu, Rahmat menyerukan agar kedua tokoh yang tengah berseteru segera menghentikan tensi politik ini.

“Saya menghimbau kepada Saudara Hercules GRIB dan Saudara Mardigu Wowo Bossman untuk dapat menahan diri dan segera melakukan rekonsiliasi,” katanya.

Kepada koleganya di DPRD, Rahmat pun mengajukan langkah strategis:

“Saya meminta kepada pimpinan DPRD Jabar agar segera turun tangan menata ulang relasi tata kelola pemerintahan Provinsi Jabar, sesuai dengan sistem pemerintahan daerah, mengacu kepada aturan perundang-undangan yang berlaku dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Sementara itu, Hercules tetap menunjukkan keyakinannya.

Anak buah saya hampir 500 ribu di Jawa Barat, dukung Dedi Mulyadi jadi gubernur karena kendaraannya Partai Gerindra karena presiden kita Pak Prabowo. Kami kerja (dukung) tidak ada yang membayar kami,” ucapnya.

Hercules pun meminta agar Dedi Mulyadi merangkul ormas dan mengajak mereka bersinergi bersama TNI dan Polri

Ucapan ini mengundang banyak tafsir—apakah dukungan ormas bisa dijadikan semacam “modal politik” untuk ditekan ke penguasa daerah?

Di sisi lain, posisi Mardigu sebagai Komisaris Utama bank milik daerah juga dipersoalkan. Ucapannya di ruang publik bisa berdampak luas pada kepercayaan pasar dan stabilitas keuangan daerah.

Jabar Tak Butuh Panggung Ego, Tapi Pegangan Nurani

Jawa Barat bukan panggung ormas. Bukan pula panggung bagi para motivator dengan jutaan pengikut media sosial yang bicara seolah pemilik legitimasi rakyat.

Baca juga : Gebyar Paten 2025: Pelayanan Publik Terpadu Lebih Dekat dengan Warga Karawang

Jabar adalah tanah silih asih, silih asah, silih asuh. Gemah ripah repeh rapih bukan sekadar syair kosong tapi pesan leluhur agar pemimpin tak main gertak, tak bicara atas nama rakyat jika hanya demi gengsi.

Kalau semua bicara mengatasnamakan rakyat, siapa yang sungguh-sungguh mau mendengarkan rakyat?

Jika ketegangan ini dibiarkan, bukan hanya sistem yang terganggu. Yang hilang bisa jadi adalah kepercayaan. Dan dari situ, demokrasi lokal bisa tergelincir ke dalam negara bayangan: di mana suara keras lebih berkuasa dari hukum, dan gengsi lebih penting dari kepentingan bersama.(*)