
Persoona.id – Mengingat masa lalu berarti menyadari sejarah yang sering kali terlarut dalam emosi, romantisme, dan nostalgia. Dalam perkembangan agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di daerah Karawang, hanya sedikit bukti peninggalan yang tersisa. Meskipun demikian, para sejarawan telah berupaya keras untuk mengungkap misteri yang ada.
Kronologi sejarah Masjid Agung Karawang memberikan informasi kepada masyarakat, tidak hanya untuk membangkitkan rasa bangga memiliki Masjid Agung, tetapi juga diharapkan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam melestarikan dan memelihara bangunan tersebut sebagai aset umat Islam. Hal ini penting untuk meningkatkan peran masjid dalam membina keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Baca juga : Kelenteng Sian Jin Ku Po: Warisan Sejarah Tionghoa di Karawang
Masjid Agung Karawang berada di Jl. Alun-Alun Barat No. 1, Kelurahan Karawang Kulon, Kecamatan Karawang Barat, Kabupaten Karawang. Masjid ini, yang juga dikenal sebagai Masjid Agung Syekh Quro Karawang, memiliki cerita yang menarik.
Sejarah mencatat bahwa pesantren didirikan oleh Syekh Hasanuddin (Syekh Quro), yang kemudian berkembang menjadi masjid sebagai tempat ibadah bagi umat Islam. Masjid ini terus dipelihara oleh para ulama, umaro, dan masyarakat hingga saat ini, mulai dari Bupati Pertama Adipati Singaperbangsa hingga bupati-bupati berikutnya.

Sudah lama beredar anggapan bahwa Masjid Agung Karawang didirikan oleh seorang ulama besar bernama Syekh Hasanuddin, yang lebih dikenal dengan sebutan Syekh Quro. Beliau terkenal tidak hanya karena pengetahuannya yang mendalam, tetapi juga sebagai seorang Hafizh Al-Qur’an dan qari dengan suara yang merdu.
Pada tahun 1418 M, Syekh Quro membangun sebuah mushola yang juga berfungsi sebagai pesantren, sesuai dengan tahun yang tertera pada papan nama masjid. Di pesantren inilah, beberapa waktu kemudian, dilangsungkan pernikahan santrinya yang bernama Nyi Subang Larang (dalam versi lain disebut Subang Karancang) dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Mahkota Raja Pajajaran, yang kemudian menjadi raja dengan gelar Prabu Siliwangi.
Baca juga : Candi Jiwa: Situs Sejarah Tertua di Karawang
Anggapan ini menjadi kebanggaan bagi umat Islam, khususnya masyarakat Karawang secara umum. Hal ini wajar, mengingat masjid ini merupakan tempat pertama yang digunakan untuk mengagungkan nama Allah dan juga menjadi lokasi pernikahan agung Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.
Ada banyak hal yang perlu diungkap, antara lain bagaimana Syekh Hasanuddin bisa tiba di Karawang pada masa pemerintahan Pajajaran yang umumnya menganut agama Hindu, serta alasan di balik pendirian mushola yang menjadi cikal bakal Masjid Agung Karawang. Mengapa Pesantren Quro tidak mengalami perkembangan, sementara pesantren di luar Karawang justru berkembang pesat? Ini menjadi tantangan bagi para sejarawan untuk menyelidikinya.

Berdasarkan data yang ada, Masjid Agung Karawang telah mengalami sejumlah pemugaran seiring berjalannya waktu. Namun, melakukan pemugaran secara menyeluruh bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan oleh keinginan sebagian ulama dan masyarakat untuk tidak mengganti semua bahan bangunan masjid. Mereka berpendapat bahwa beberapa elemen harus tetap dipertahankan atau digunakan kembali, karena masjid ini dianggap sebagai salah satu warisan Waliyullah, yaitu Syekh Quro, yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di Karawang.
Saat ini, Masjid Agung Karawang telah mengalami perkembangan yang signifikan, baik dari segi bangunan maupun fungsi dan perannya. Meskipun tetap berfokus pada fungsi utamanya sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah salat berjamaah, Masjid Agung Karawang juga dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, seperti sebagai tempat belajar dan mengajar. Masjid merupakan simbol dan identitas umat Islam yang mencerminkan nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu, berbagai kegiatan di masjid seharusnya tidak hanya berfokus pada ibadah yang bersifat ukhrawi, tetapi juga mengintegrasikan aktivitas ukhrawi dan duniawi. Dengan pendekatan filosofis, perpaduan antara tema wisata sejarah dan religi menjadi penting. Dalam hal ini, bangunan masjid tetap berfungsi sebagai tempat ibadah bagi umat Muslim.
Baca juga : Temuan Menarik: Bebatuan Aneh di Pegunungan Sanggabuana
Kita tentu berharap agar Masjid Agung yang didirikan enam abad yang lalu dapat menjadi panutan bagi masjid-masjid lainnya dalam upaya mewujudkan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Syekh Quro Membangun Masjid Pertama di Pulau Jawa
Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusup Sidik, seorang ulama besar dari Campa, tiba di Cirebon dan disambut oleh Ki Gedeng Tapa untuk menyebarkan agama Islam. Namun, karena tidak disukai oleh Raja Pajajaran, Prabu Angga Larang, Syekh Hasanuddin terpaksa kembali ke Malaka. Di sana, Nyi Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa yang baru berusia 12 tahun, dititipkan untuk belajar agama Islam.

Dalam perjalanan keduanya dari Malaka ke Pulau Jawa, Syekh Hasanuddin dan muridnya, Nyi Subang Larang, menyusuri Sungai Citarum dan akhirnya mendarat di Pelabuhan Bunut Karawang, yang kini dikenal sebagai Kampung Bunut.
Dengan izin dari penguasa setempat, dibangunlah sebuah tempat tinggal dan lokasi untuk mengaji yang kemudian dikenal sebagai Pesantren Quro (sekarang Masjid Agung) pada tahun 1418 M. Namun, Prabu Angga Larang, Raja Pajajaran, tetap melarang Syekh Hasanuddin, yang kini lebih dikenal sebagai Syekh Quro. Untuk itu, ia mengutus putra mahkota, Prabu Pamanah Rasa, untuk menutup Pesantren Quro.
Setibanya di Pesantren Quro, Pamanah Rasa terpesona oleh alunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh Nyi Subang Larang. Niatnya untuk menutup pesantren tersebut pun dibatalkan, dan Prabu Pamanah Rasa melamar Nyi Subang Larang. Lamaran tersebut diterima dengan dua syarat: pertama, mas kawin yang harus diberikan adalah Bintang Saketi (Bintang Kerti), simbol tasbih, yang mengharuskan Prabu Pamanah Rasa memeluk Islam. Kedua, salah satu keturunan dari anak yang dilahirkan harus menjadi Raja Pajajaran.
Dengan syarat tersebut disetujui, pernikahan pun dilaksanakan di Pesantren Syekh Quro atau Masjid Agung yang ada sekarang, dengan Syekh Quro sebagai penghulu (pada saat itu, Nyi Subang Larang berusia 14 tahun). Setelah diangkat menjadi Raja Pajajaran, Pamanah Rasa bergelar Prabu Siliwangi.
Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Raden Kian Santang. Raden Walangsungsang, putra Raja Pajajaran yang menguasai Cirebon, bergelar Cakra Ningrat atau Cakra Buana.

Ketika Raden Walangsungsang dan Nyi Mas Rara Santang menuntut ilmu di Mekah, Nyi Mas Rara Santang dipersunting oleh seorang bangsawan Mekah, Syekh Syarif Abdillah. Setelah menikah, namanya diubah menjadi Syarifah Mudaim, dan mereka dikaruniai dua orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Narullah.
Pada tahun 1475 M, Syarifah Mudaim dan putranya, Syarif Hidayatullah, kembali ke Pulau Jawa, tepatnya ke Cirebon. Mengingat Pangeran Cakra Buana sudah lanjut usia, pemerintahan diserahkan kepada Syarif Hidayatullah, yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Baca juga : Sejarah Awal Berdirinya Karawang dan Peranannya dalam Lintas Zaman
Sebagai perbandingan, masjid tertua di Jawa adalah Masjid Agung Karawang, yang didirikan sekitar tahun 1418 M oleh Syekh Quro. Selanjutnya, ada Masjid Agung Sunan Ampel yang dibangun pada tahun 1421 M, serta Masjid Agung Cirebon yang dikenal juga sebagai Masjid Agung Sang Cipta Rasa atau Masjid Sunan Gunung Jati, yang didirikan pada tahun 1498 M dan merupakan bagian dari kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon. Selain itu, Masjid Agung Demak diperkirakan dibangun pada tahun 1477 M, yang terkait dengan Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak, dan didukung oleh para Walisongo. Keempat masjid ini memiliki ciri khas arsitektur masing-masing, yaitu bentuk joglo dengan empat tiang utama (soko guru) dan atap limas bersusun tiga, yang melambangkan iman./mang kosim
Sumber : OBAR SUBARJA (Ketua TACB / Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Karawang)