
Persoona.id – Masalah sampah tidak hanya terjadi di kota besar, tapi juga di desa-desa, termasuk kawasan pantai seperti Desa Tanjungpakis, Kecamatan Pakisjaya, Kabupaten Karawang. Setahun lalu, warga dan nelayan di sana terbiasa membuang sampah, terutama botol plastik, langsung ke laut. Botol-botol plastik itu kemudian kembali terdampar di bibir pantai, mencemari area wisata yang kerap dikunjungi wisatawan. Tak hanya dari nelayan, sampah plastik juga dibuang sembarangan oleh wisatawan, membuat suasana pantai jadi kotor dan penuh sampah.
Baca juga : Fraksi PKB Desak Pemprov Jabar Masukkan Program Pesantren dalam RPJMD dan APBD
Masalah ini mulai teratasi setelah hadirnya program Bank Sampah. Warga kini mengumpulkan sampah plastik, sementara sampah kertas dibakar di tempat yang telah disiapkan. Program ini merupakan kerja sama Pertamina Hulu Energi Offshore North West Java (PHE ONWJ) dengan Kelompok Kerja Pemberdayaan Masyarakat Pesisir (KKPMP) Tanjungpakis.
Warga, yang sebagian besar adalah istri nelayan, aktif memilah sampah plastik dan nonplastik. Sampah botol air mineral 600 ml dan 1,5 liter menjadi yang paling bernilai, dijual hingga Rp 6.000 per kilogram. Botol ukuran 220 ml dihargai Rp 2.000–Rp 5.000/kg, tutup botol Rp 2.500/kg, dan ember plastik Rp 1.800/kg. Selama setahun terakhir, aktivitas ini menjadi sumber penghasilan tambahan, terutama saat hasil tangkapan nelayan menurun karena cuaca buruk. Ketua KKPMP, Sopyan Iskandar menjelaskan, sampah yang dikumpulkan berasal dari limbah rumah tangga dan industri kecil yang terbawa arus sungai ke pantai, serta sampah yang dibuang sembarangan oleh warga pesisir.
“Memang masih ada masyarakat pesisir yang buang sampah sembarangan. Padahal, wilayah pesisir tidak terjangkau oleh armada sampah dari Dinas Lingkungan Hidup,” ujarnya. Karena itu, warga berinisiatif membentuk Bank Sampah berbasis komunitas agar penanganan sampah lebih efisien dan murah. Kini, warga mulai terbiasa membuang sampah pada tempatnya.
Awalnya, pengelola Bank Sampah membagikan tempat sampah dan buku tabungan gratis ke 114 rumah. Setiap kepala keluarga menjadi nasabah. Dua kali seminggu, petugas dari KKPMP menjemput sampah dari rumah-rumah tersebut, lalu dipilah di tempat khusus. Sampah bernilai ekonomis dijual ke pengepul, sedangkan sisanya dimusnahkan. Hasil penjualan dibagi dua: sebagian untuk operasional, dan sisanya masuk ke tabungan nasabah. Warga bisa mencairkan tabungan kapan saja.
“Masyarakat senang karena dari perilaku buang sampah pada tempatnya ternyata bisa menghasilkan uang. Bahkan ada rumah yang dalam waktu tiga bulan sudah mengumpulkan saldo tabungan mencapai Rp 400 ribu,” kata Sopyan.
Baru jangkau beberapa RT Ia pun berharap program ini bisa diperluas. Saat ini, layanan Bank Sampah baru menjangkau beberapa RT saja. Sopyan juga ingin mengolah sampah lain, seperti eceng gondok dan limbah laut. “Di saluran irigasi banyak eceng gondok. Kami sudah studi banding melihat bagaimana tanaman ini bisa diolah jadi pengganti plastik. Kami juga ingin manfaatkan kerang berduri yang selama ini dibuang karena dianggap hama,” jelasnya. Rencana ini didukung oleh PHE ONWJ. Head of Communication, Relations & CID PHE ONWJ, R. Ery Ridwan mengatakan, program ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) nomor 12 dan 14.
Baca juga : Pemkab Karawang dan Kejari Tandatangani Nota Kesepakatan Hukum Perdata dan TUN
“Melalui program ini, kami berupaya mengurangi pencemaran laut akibat limbah plastik dan meningkatkan kualitas lingkungan pesisir. Kami percaya kolaborasi antara masyarakat dan sektor swasta bisa menghadirkan solusi inovatif,” ujar Ery. Ia berharap, program ini bukan hanya mengatasi sampah, tapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat. “Dengan melibatkan istri nelayan sebagai pemilah dan nelayan sebagai pengangkut sampah, kami ingin menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesadaran tentang pentingnya pengelolaan limbah yang berkelanjutan,” katanya.(*)