Persoona.id – Menyambut HUT ke-80 Kemerdekaan RI, komunitas Karawang Walking Tour (KWT) merayakan dengan cara unik dan bermakna. Mereka menggelar kerja bakti membersihkan bekas Kantor Kewedanaan Rengasdengklok, yang merupakan bangunan cagar budaya penting dalam sejarah bangsa. Kegiatan ini berlangsung dari pagi hingga sore hari, Kamis (14/8/2025).

Dengan semangat gotong royong, anggota KWT bersama pemuda Rengasdengklok dan komunitas dari Cikampek membersihkan area bangunan yang terbengkalai. Mereka menggunakan berbagai alat seperti mesin potong rumput, golok, dan palu untuk menyingkirkan ilalang yang tumbuh tinggi serta memungut sampah yang berserakan.

Baca juga : Bupati Aep Dampingi Pimpinan MPR RI Napak Tilas Sejarah di Rengasdengklok

“Lumayan agak lelah juga, karena rumput liar dan ilalangnya sudah tinggi-tinggi bahkan kita menemukan ada seperti kondom dan banyak bungkus komik di area cagar budaya,” kata Hana Nada, Founder KWT.

Hana menjelaskan bahwa kegiatan ini merupakan aksi kolaboratif untuk melestarikan sejarah Indonesia. “Ini adalah upaya pelestarian cagar budaya dan sejarah bangsa,” tegasnya.

Nilai Historis dan Kondisi yang Memprihatinkan
Seorang pegiat sejarah dari Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Karawang, Dharma Putra Gotama, menegaskan nilai historis tinggi dari bekas kantor kewedanaan ini. “Lokasi ini tidak bisa dilepaskan dari peristiwa penculikan Soekarno-Hatta. Dulu di sini Merah Putih dikibarkan sebelum 17 Agustus 1945,” kata Dharma.

Baca juga : Dukungan DPRD Jabar Pacu Pembentukan Kabupaten Cirebon Timur, SKB Segera Terbit

Meski memiliki nilai sejarah yang besar, Dharma menyayangkan kondisi bangunan yang memprihatinkan. “Kalau melihat kondisi saat ini memang memprihatinkan meski sudah ditetapkan menjadi cagar budaya,” ujarnya.

Aksi bersih-bersih ini diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan merawat situs-situs bersejarah, khususnya dalam momentum peringatan kemerdekaan.(*)

Persoona.id – Sosok pejuang yang satu ini mungkin tak setenar pahlawan nasional lainnya, namun sejarah mencatatnya sebagai pemuda tangguh yang menjadi simbol perlawanan rakyat pesisir utara Jawa Barat terhadap kolonialisme Belanda. Ia adalah Ki Bagus Jabin, seorang ulama muda karismatik yang melanjutkan perjuangan Ki Bagus Rangin.

Makam Ki Bagus Jabin terletak di tengah kompleks pemakaman umum Desa Cikampek Pusaka, Karawang. Lokasi makam berada dalam bangunan khusus yang juga menjadi tempat ziarah dan pusat kegiatan keagamaan masyarakat setempat, terutama saat malam Jumat atau bulan-bulan tertentu seperti Maulid dan Syaban.

Baca juga : Jejak Syekh Quro dan Masjid Agung Karawang: Warisan Islam Tertua di Jawa

Bangunan makam terdiri dari beberapa bagian, termasuk ruangan utama tempat jasad Ki Bagus Jabin dimakamkan. Makam beliau dilindungi kelambu putih dan jiratnya terbuat dari kayu jati, tersusun dalam tiga lapisan. Nisan makam berbentuk floral dan dihiasi ukiran geometris serta bunga timbul, dengan tinggi hampir 1 meter.

Selain makam utama, di area bangunan tersebut juga terdapat makam juru kunci, keluarga, serta seorang tokoh penting bernama Buyut Sepuh I (Panglebar Buana), yang merupakan tangan kanan sekaligus juru kunci pertama setelah wafatnya Ki Bagus Jabin.

Jejak Perjuangan Melawan Kolonial
Nama asli Ki Bagus Jabin adalah Raden Kramawangsa, keturunan bangsawan Kasepuhan Cirebon dan saudara dari Ki Bagus Rangin, seorang ulama yang memimpin pemberontakan besar terhadap pemerintah Hindia-Belanda pada awal 1800-an. Ketika Ki Bagus Rangin ditangkap pada 1812, perlawanan rakyat sempat terhenti.

Namun, pada 8 Desember 1816, perlawanan kembali menyala saat seorang pemuda berusia 16 tahun bernama Bagus Jabin memimpin sekitar 2.500 orang dari wilayah Karawang, Ciasem, dan Pamanukan untuk bangkit melawan penindasan kolonial. Mereka menyerbu wilayah Kandanghaur sebagai pusat pemerintahan lokal yang dianggap pro-Belanda.

Serangan besar itu membuat Residen Cirebon, W.N. Servatius, mengerahkan pasukan gabungan dari Priangan, Jawa Tengah, hingga Solo untuk mengepung Kandanghaur. Pertempuran pun tak terelakkan. Ki Bagus Jabin dan pasukannya sempat menggempur Indramayu, tetapi kekuatan Belanda yang jauh lebih besar akhirnya membuat pasukannya terdesak dan terkepung di Sungai Cimanuk. Sebanyak 500 orang ditangkap dan 60 tewas.

Dari Gerilyawan Menjadi Penyebar Agama
Setelah kekalahan tersebut, Ki Bagus Jabin melarikan diri dan terus melakukan perlawanan gerilya di sepanjang pesisir utara Jawa Barat. Hingga akhirnya ia menetap di sebuah dataran tinggi yang kini dikenal sebagai Desa Cikampek Pusaka, Karawang. Tempat itu dianggap strategis karena dekat dengan Sungai Citarum dan dikelilingi hutan.

Di tempat persembunyiannya ini, Ki Bagus Jabin tak hanya menyusun strategi perjuangan, tetapi juga dikenal sebagai penyiar agama Islam yang disegani. Kiprahnya dalam membimbing masyarakat dan membangun kekuatan spiritual rakyat membuatnya dikenang sebagai tokoh karismatik hingga kini.

Baca juga : Kelenteng Sian Jin Ku Po: Warisan Sejarah Tionghoa di Karawang

Pusat Ziarah dan Tradisi Budaya
Makam Ki Bagus Jabin kini menjadi salah satu pusat spiritual dan budaya masyarakat Karawang. Selain sebagai tempat ziarah, area makam ini kerap dijadikan tempat pelaksanaan ritual adat, seperti Hajat Bumi, syukuran, dan kegiatan keagamaan lainnya. Tak sedikit peziarah yang menginap di ruangan ziarah khusus untuk melakukan tawasulan.

Kehadiran makam ini tidak hanya menjadi pengingat atas jejak perlawanan terhadap penjajahan, tetapi juga simbol keteladanan spiritual seorang pemuda pejuang yang rela berkorban demi keadilan dan kemerdekaan rakyatnya./karawangkab

Persoona.id – Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Karawang melalui Bidang Budaya menggelar Sosialisasi Pengembangan dan Edukasi Sejarah Cagar Budaya Karawang (SAGAWANG) di SD Negeri Pisang Sambo 1, Kecamatan Tirtajaya. Lokasi ini merupakan salah satu situs Cagar Budaya resmi Kabupaten Karawang.

Baca juga : Karawang Tunjukkan Prestasi di MTQH Jabar ke-39

Kegiatan tersebut dipimpin langsung oleh Kepala Bidang Budaya Disparbud Karawang, Waya Karmila, dan menjadi bagian dari Pelatihan Kepemimpinan Administrator. Program ini bertujuan menumbuhkan kesadaran sejarah dan pelestarian budaya lokal, khususnya di kalangan pelajar dan perangkat pemerintah.

“SD Pisang Sambo bukan hanya sekolah, tetapi juga bagian penting dari jejak sejarah Karawang yang harus dikenali dan dilestarikan,” ujar Waya.

SAGAWANG merupakan upaya edukatif Disparbud Karawang untuk mengenalkan nilai sejarah dan budaya melalui pendekatan langsung di lokasi cagar budaya. Kegiatan ini juga menjadi media integrasi antara pendidikan, pelatihan kepemimpinan, dan pelestarian warisan budaya.

Menurut Waya Karmila, pelestarian budaya adalah tanggung jawab bersama, tidak hanya pemerintah, tetapi juga masyarakat. Oleh karena itu, kolaborasi antar sektor sangat penting.

Baca juga : Ketua Komisi I DPRD Jabar Sosialisasikan Perda Kepemudaan dan Dorong Peran Aktif Pemuda Karawang

“Kami akan terus menyosialisasikan dan mendorong perlindungan cagar budaya sebagai kekuatan daerah, termasuk untuk pendidikan, ekonomi kreatif, dan pariwisata,” tambahnya.

Disparbud Karawang menargetkan pelaksanaan SAGAWANG secara berkelanjutan di berbagai wilayah, agar nilai-nilai budaya lokal tetap hidup di tengah masyarakat.(FK-KIM Diskominfo)

Karawang – Candi Jiwa, situs bersejarah peninggalan Hindu-Buddha, menjadi salah satu candi tertua di Jawa Barat. Secara administratif, candi ini terletak di dua wilayah, yaitu Desa Segaran dan Desa Telagajaya, yang berada di Kecamatan Batujaya dan Kecamatan Pakisjaya. Lokasinya yang dikelilingi persawahan menambah suasana eksotis dan menenangkan bagi pengunjung.

Sejarah Penemuan Candi Jiwa

Candi Jiwa pertama kali ditemukan pada tahun 1984. Penemuan ini tergolong baru, sehingga penelitian terhadap situs ini masih terus dilakukan. Para ahli percaya bahwa candi ini berasal dari masa Kerajaan Tarumanegara hingga Kerajaan Sunda. Selain itu, nama “Candi Jiwa” diberikan oleh masyarakat setempat karena konon setiap kali hewan ternak melewati reruntuhan candi ini, hewan tersebut mati secara misterius.

Keunikan Arsitektur Candi Jiwa

Tidak seperti candi-candi lain yang menjulang tinggi, Candi Jiwa memiliki bentuk oval dengan tinggi empat meter dari permukaan tanah. Bangunannya berbentuk stupa atau arca Buddha yang menyerupai bunga teratai mekar di atas air. Bentuk ini melambangkan kesakralan dan keindahan dalam ajaran Buddha.

Candi Jiwa memiliki dimensi 19 x 19 meter dengan tinggi 4,7 meter. Di bagian atasnya terdapat susunan bata melingkar dengan diameter enam meter yang diperkirakan merupakan bekas stupa. Denah melingkar di tengah candi menjadi daya tarik unik, di mana umat Buddha melakukan ritual mengitari candi searah jarum jam.

Material Bangunan

Bangunan candi terbuat dari batu bata yang dibakar menggunakan kayu. Uniknya, batu bata dari daerah Batujaya memiliki ukuran lebih besar dibandingkan batu bata pada umumnya. Beberapa bagian candi tampak gosong, menandakan teknik pembakaran tradisional yang digunakan pada masa lalu.

Rute Menuju Candi Jiwa

Candi Jiwa berjarak sekitar 50 kilometer dari Jakarta dengan waktu tempuh tiga jam. Pengunjung dapat mengambil rute melalui tol Cikampek, keluar di gerbang tol Karawang Barat, menuju Rengasdengklok, dan akhirnya ke arah Batujaya.

Daya Tarik Wisata Sejarah

Candi Jiwa menawarkan pengalaman wisata sejarah yang mendalam. Dengan bentuknya yang unik dan nilai sejarah yang tinggi, candi ini menjadi destinasi yang wajib dikunjungi bagi pecinta sejarah dan budaya. Selain itu, suasana tenang di tengah persawahan membuat tempat ini cocok untuk refleksi dan ziarah.

Dengan terus berlangsungnya penelitian, Candi Jiwa diharapkan dapat menjadi salah satu ikon sejarah yang tak ternilai di Karawang, sekaligus destinasi wisata edukasi yang menarik bagi generasi mendatang./qie