Persoona.id – Sosok pejuang yang satu ini mungkin tak setenar pahlawan nasional lainnya, namun sejarah mencatatnya sebagai pemuda tangguh yang menjadi simbol perlawanan rakyat pesisir utara Jawa Barat terhadap kolonialisme Belanda. Ia adalah Ki Bagus Jabin, seorang ulama muda karismatik yang melanjutkan perjuangan Ki Bagus Rangin.
Makam Ki Bagus Jabin terletak di tengah kompleks pemakaman umum Desa Cikampek Pusaka, Karawang. Lokasi makam berada dalam bangunan khusus yang juga menjadi tempat ziarah dan pusat kegiatan keagamaan masyarakat setempat, terutama saat malam Jumat atau bulan-bulan tertentu seperti Maulid dan Syaban.
Bangunan makam terdiri dari beberapa bagian, termasuk ruangan utama tempat jasad Ki Bagus Jabin dimakamkan. Makam beliau dilindungi kelambu putih dan jiratnya terbuat dari kayu jati, tersusun dalam tiga lapisan. Nisan makam berbentuk floral dan dihiasi ukiran geometris serta bunga timbul, dengan tinggi hampir 1 meter.
Selain makam utama, di area bangunan tersebut juga terdapat makam juru kunci, keluarga, serta seorang tokoh penting bernama Buyut Sepuh I (Panglebar Buana), yang merupakan tangan kanan sekaligus juru kunci pertama setelah wafatnya Ki Bagus Jabin.
Jejak Perjuangan Melawan Kolonial Nama asli Ki Bagus Jabin adalah Raden Kramawangsa, keturunan bangsawan Kasepuhan Cirebon dan saudara dari Ki Bagus Rangin, seorang ulama yang memimpin pemberontakan besar terhadap pemerintah Hindia-Belanda pada awal 1800-an. Ketika Ki Bagus Rangin ditangkap pada 1812, perlawanan rakyat sempat terhenti.
Namun, pada 8 Desember 1816, perlawanan kembali menyala saat seorang pemuda berusia 16 tahun bernama Bagus Jabin memimpin sekitar 2.500 orang dari wilayah Karawang, Ciasem, dan Pamanukan untuk bangkit melawan penindasan kolonial. Mereka menyerbu wilayah Kandanghaur sebagai pusat pemerintahan lokal yang dianggap pro-Belanda.
Serangan besar itu membuat Residen Cirebon, W.N. Servatius, mengerahkan pasukan gabungan dari Priangan, Jawa Tengah, hingga Solo untuk mengepung Kandanghaur. Pertempuran pun tak terelakkan. Ki Bagus Jabin dan pasukannya sempat menggempur Indramayu, tetapi kekuatan Belanda yang jauh lebih besar akhirnya membuat pasukannya terdesak dan terkepung di Sungai Cimanuk. Sebanyak 500 orang ditangkap dan 60 tewas.
Dari Gerilyawan Menjadi Penyebar Agama Setelah kekalahan tersebut, Ki Bagus Jabin melarikan diri dan terus melakukan perlawanan gerilya di sepanjang pesisir utara Jawa Barat. Hingga akhirnya ia menetap di sebuah dataran tinggi yang kini dikenal sebagai Desa Cikampek Pusaka, Karawang. Tempat itu dianggap strategis karena dekat dengan Sungai Citarum dan dikelilingi hutan.
Di tempat persembunyiannya ini, Ki Bagus Jabin tak hanya menyusun strategi perjuangan, tetapi juga dikenal sebagai penyiar agama Islam yang disegani. Kiprahnya dalam membimbing masyarakat dan membangun kekuatan spiritual rakyat membuatnya dikenang sebagai tokoh karismatik hingga kini.
Pusat Ziarah dan Tradisi Budaya Makam Ki Bagus Jabin kini menjadi salah satu pusat spiritual dan budaya masyarakat Karawang. Selain sebagai tempat ziarah, area makam ini kerap dijadikan tempat pelaksanaan ritual adat, seperti Hajat Bumi, syukuran, dan kegiatan keagamaan lainnya. Tak sedikit peziarah yang menginap di ruangan ziarah khusus untuk melakukan tawasulan.
Kehadiran makam ini tidak hanya menjadi pengingat atas jejak perlawanan terhadap penjajahan, tetapi juga simbol keteladanan spiritual seorang pemuda pejuang yang rela berkorban demi keadilan dan kemerdekaan rakyatnya./karawangkab
Persoona.id – Mengingat masa lalu berarti menyadari sejarah yang sering kali terlarut dalam emosi, romantisme, dan nostalgia. Dalam perkembangan agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di daerah Karawang, hanya sedikit bukti peninggalan yang tersisa. Meskipun demikian, para sejarawan telah berupaya keras untuk mengungkap misteri yang ada.
Kronologi sejarah Masjid Agung Karawang memberikan informasi kepada masyarakat, tidak hanya untuk membangkitkan rasa bangga memiliki Masjid Agung, tetapi juga diharapkan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam melestarikan dan memelihara bangunan tersebut sebagai aset umat Islam. Hal ini penting untuk meningkatkan peran masjid dalam membina keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Masjid Agung Karawang berada di Jl. Alun-Alun Barat No. 1, Kelurahan Karawang Kulon, Kecamatan Karawang Barat, Kabupaten Karawang. Masjid ini, yang juga dikenal sebagai Masjid Agung Syekh Quro Karawang, memiliki cerita yang menarik.
Sejarah mencatat bahwa pesantren didirikan oleh Syekh Hasanuddin (Syekh Quro), yang kemudian berkembang menjadi masjid sebagai tempat ibadah bagi umat Islam. Masjid ini terus dipelihara oleh para ulama, umaro, dan masyarakat hingga saat ini, mulai dari Bupati Pertama Adipati Singaperbangsa hingga bupati-bupati berikutnya.
Sudah lama beredar anggapan bahwa Masjid Agung Karawang didirikan oleh seorang ulama besar bernama Syekh Hasanuddin, yang lebih dikenal dengan sebutan Syekh Quro. Beliau terkenal tidak hanya karena pengetahuannya yang mendalam, tetapi juga sebagai seorang Hafizh Al-Qur’an dan qari dengan suara yang merdu. Pada tahun 1418 M, Syekh Quro membangun sebuah mushola yang juga berfungsi sebagai pesantren, sesuai dengan tahun yang tertera pada papan nama masjid. Di pesantren inilah, beberapa waktu kemudian, dilangsungkan pernikahan santrinya yang bernama Nyi Subang Larang (dalam versi lain disebut Subang Karancang) dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Mahkota Raja Pajajaran, yang kemudian menjadi raja dengan gelar Prabu Siliwangi.
Anggapan ini menjadi kebanggaan bagi umat Islam, khususnya masyarakat Karawang secara umum. Hal ini wajar, mengingat masjid ini merupakan tempat pertama yang digunakan untuk mengagungkan nama Allah dan juga menjadi lokasi pernikahan agung Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi. Ada banyak hal yang perlu diungkap, antara lain bagaimana Syekh Hasanuddin bisa tiba di Karawang pada masa pemerintahan Pajajaran yang umumnya menganut agama Hindu, serta alasan di balik pendirian mushola yang menjadi cikal bakal Masjid Agung Karawang. Mengapa Pesantren Quro tidak mengalami perkembangan, sementara pesantren di luar Karawang justru berkembang pesat? Ini menjadi tantangan bagi para sejarawan untuk menyelidikinya.
Berdasarkan data yang ada, Masjid Agung Karawang telah mengalami sejumlah pemugaran seiring berjalannya waktu. Namun, melakukan pemugaran secara menyeluruh bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan oleh keinginan sebagian ulama dan masyarakat untuk tidak mengganti semua bahan bangunan masjid. Mereka berpendapat bahwa beberapa elemen harus tetap dipertahankan atau digunakan kembali, karena masjid ini dianggap sebagai salah satu warisan Waliyullah, yaitu Syekh Quro, yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di Karawang.
Saat ini, Masjid Agung Karawang telah mengalami perkembangan yang signifikan, baik dari segi bangunan maupun fungsi dan perannya. Meskipun tetap berfokus pada fungsi utamanya sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah salat berjamaah, Masjid Agung Karawang juga dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, seperti sebagai tempat belajar dan mengajar. Masjid merupakan simbol dan identitas umat Islam yang mencerminkan nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu, berbagai kegiatan di masjid seharusnya tidak hanya berfokus pada ibadah yang bersifat ukhrawi, tetapi juga mengintegrasikan aktivitas ukhrawi dan duniawi. Dengan pendekatan filosofis, perpaduan antara tema wisata sejarah dan religi menjadi penting. Dalam hal ini, bangunan masjid tetap berfungsi sebagai tempat ibadah bagi umat Muslim.
Kita tentu berharap agar Masjid Agung yang didirikan enam abad yang lalu dapat menjadi panutan bagi masjid-masjid lainnya dalam upaya mewujudkan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.
Syekh Quro Membangun Masjid Pertama di Pulau Jawa
Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusup Sidik, seorang ulama besar dari Campa, tiba di Cirebon dan disambut oleh Ki Gedeng Tapa untuk menyebarkan agama Islam. Namun, karena tidak disukai oleh Raja Pajajaran, Prabu Angga Larang, Syekh Hasanuddin terpaksa kembali ke Malaka. Di sana, Nyi Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa yang baru berusia 12 tahun, dititipkan untuk belajar agama Islam.
Dalam perjalanan keduanya dari Malaka ke Pulau Jawa, Syekh Hasanuddin dan muridnya, Nyi Subang Larang, menyusuri Sungai Citarum dan akhirnya mendarat di Pelabuhan Bunut Karawang, yang kini dikenal sebagai Kampung Bunut. Dengan izin dari penguasa setempat, dibangunlah sebuah tempat tinggal dan lokasi untuk mengaji yang kemudian dikenal sebagai Pesantren Quro (sekarang Masjid Agung) pada tahun 1418 M. Namun, Prabu Angga Larang, Raja Pajajaran, tetap melarang Syekh Hasanuddin, yang kini lebih dikenal sebagai Syekh Quro. Untuk itu, ia mengutus putra mahkota, Prabu Pamanah Rasa, untuk menutup Pesantren Quro.
Setibanya di Pesantren Quro, Pamanah Rasa terpesona oleh alunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh Nyi Subang Larang. Niatnya untuk menutup pesantren tersebut pun dibatalkan, dan Prabu Pamanah Rasa melamar Nyi Subang Larang. Lamaran tersebut diterima dengan dua syarat: pertama, mas kawin yang harus diberikan adalah Bintang Saketi (Bintang Kerti), simbol tasbih, yang mengharuskan Prabu Pamanah Rasa memeluk Islam. Kedua, salah satu keturunan dari anak yang dilahirkan harus menjadi Raja Pajajaran.
Dengan syarat tersebut disetujui, pernikahan pun dilaksanakan di Pesantren Syekh Quro atau Masjid Agung yang ada sekarang, dengan Syekh Quro sebagai penghulu (pada saat itu, Nyi Subang Larang berusia 14 tahun). Setelah diangkat menjadi Raja Pajajaran, Pamanah Rasa bergelar Prabu Siliwangi. Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Raden Kian Santang. Raden Walangsungsang, putra Raja Pajajaran yang menguasai Cirebon, bergelar Cakra Ningrat atau Cakra Buana.
Ketika Raden Walangsungsang dan Nyi Mas Rara Santang menuntut ilmu di Mekah, Nyi Mas Rara Santang dipersunting oleh seorang bangsawan Mekah, Syekh Syarif Abdillah. Setelah menikah, namanya diubah menjadi Syarifah Mudaim, dan mereka dikaruniai dua orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Narullah. Pada tahun 1475 M, Syarifah Mudaim dan putranya, Syarif Hidayatullah, kembali ke Pulau Jawa, tepatnya ke Cirebon. Mengingat Pangeran Cakra Buana sudah lanjut usia, pemerintahan diserahkan kepada Syarif Hidayatullah, yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati.
Sebagai perbandingan, masjid tertua di Jawa adalah Masjid Agung Karawang, yang didirikan sekitar tahun 1418 M oleh Syekh Quro. Selanjutnya, ada Masjid Agung Sunan Ampel yang dibangun pada tahun 1421 M, serta Masjid Agung Cirebon yang dikenal juga sebagai Masjid Agung Sang Cipta Rasa atau Masjid Sunan Gunung Jati, yang didirikan pada tahun 1498 M dan merupakan bagian dari kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon. Selain itu, Masjid Agung Demak diperkirakan dibangun pada tahun 1477 M, yang terkait dengan Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak, dan didukung oleh para Walisongo. Keempat masjid ini memiliki ciri khas arsitektur masing-masing, yaitu bentuk joglo dengan empat tiang utama (soko guru) dan atap limas bersusun tiga, yang melambangkan iman./mang kosim
Sumber : OBAR SUBARJA (Ketua TACB / Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Karawang)
Persoona.id – Di tengah hiruk-pikuk Kota Karawang, berdiri sebuah tempat ibadah tua yang sarat sejarah dan makna budaya — Kelenteng Sian Jin Ku Po, yang terletak di Jl. Muhammad Toha No.9, Tanjungmekar, Karawang Barat. Berdasarkan penuturan para sesepuh, kelenteng ini telah eksis sejak abad ke-17, menjadikannya salah satu bangunan ibadah tertua di kawasan tersebut, bahkan dikenal hingga ke luar daerah Karawang.
Nama “Sian Jin Ku Po” berasal dari sosok spiritual Mak Ku Po, yang dalam tradisi Tionghoa Indonesia berarti “nenek suci”. Mak Ku Po dikenal sebagai perempuan berhati mulia yang gemar menolong sesama semasa hidupnya di Tiongkok. Setelah wafat, abunya dibawa oleh tiga marga Tionghoa: Lauw, Tjiong, dan Khouw, yang merantau dari wilayah Sungai Huang Ho. Mereka melintasi samudra, menepi di muara Cabangbungin (kini masuk wilayah Bekasi), lalu menyusuri Sungai Citarum hingga mencapai pertemuan Sungai Cibeet dan Citarum — tempat mereka akhirnya menetap dan membangun kelenteng.
Kelenteng ini mengalami sejumlah pemugaran. Renovasi besar kedua dilakukan pada 1791, di mana arah pintu diubah dari barat ke timur sesuai petunjuk hong sui (feng shui). Tahun 1830, altar utama dipindahkan sekitar 100 meter. Renovasi besar berikutnya dilakukan antara 1863–1865, menghasilkan bangunan permanen dari batu bata. Terakhir, pada tahun 1985, dilakukan pemugaran modern yang masih berdiri hingga kini. Segala aktivitas kelenteng kini dikelola oleh Yayasan Sian Djin Ku Poh.
Bangunan ini memiliki sembilan altar utama. Altar pertama memuliakan Tuhan Yang Maha Esa, yang dikenal dalam berbagai istilah seperti Sang Hyang Adi Buddha, Thian Kung, atau Shang Di. Altar kedua adalah Sam Kwan Tay Tee, pemujaan kepada tiga penguasa alam: langit, bumi, dan air. Altar ketiga, Mun Sen, menampilkan sepasang malaikat penjaga pintu, lazim dilukis di daun pintu kelenteng.
Masuk lebih dalam, pengunjung akan tiba di altar utama: Sian Djin Ku Poh, dewa pelindung yang diyakini sebagai penjaga para perantau dari Provinsi Kwang Tung dan Fu Kian. Di altar ini terdapat tiga hiolo, salah satunya terbuat dari batu hitam berusia ratusan tahun. Altar kelima, To Tie Kong atau Tu Tie Pa Kung, menggambarkan dewa tua berjanggut putih bersama harimau penjaga. Altar ini diyakini mampu menangkal roh jahat.
Di sisi kanan ruang utama, terdapat altar Sakyamuni Buddha (Se Jia Mou Ni Fo). Di bagian belakang kelenteng berdiri altar Si Im Po Sat, Dewi Welas Asih yang populer di kalangan penganut Taoisme dan umat Buddha Asia Tenggara. Altar Liung Shen Pa Kung dan Lei Shen mewakili kekuatan alam, pengatur hujan dan halilintar. Altar terakhir, Fu De Zheng Shen, merupakan simbol kemakmuran dan kesejahteraan, sering diasosiasikan dengan dewa bumi.
Kelenteng Sian Jin Ku Po bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga situs sejarah yang mencerminkan jejak peradaban Tionghoa di tanah Jawa Barat. Ia menjadi saksi bisu perjalanan budaya, keyakinan, dan semangat gotong royong yang menyatukan masyarakat lintas etnis selama lebih dari tiga abad./mang kosim
Sumber : Obar Subarja ( Ketua TACB / Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Karawang )
Persoona.id – Sebuah ruang apresiasi bagi karya-karya sineas komunitas dari berbagai daerah di Jawa Barat hadir di Karawang! Forum Film Jawa Barat bekerjasama dengan Forum Film Karawang menyelenggarakan pemutaran film bertajuk Layar Tatar Pasundan pada Rabu, 28 Mei 2025, bertempat di Aula Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Karawang.
Acara ini merupakan bagian dari program Roadshow Apresiasi Film Jawa Barat, yang bertujuan untuk memperkenalkan karya-karya film pendek, baik fiksi maupun dokumenter, kepada publik sekaligus membangun jejaring antar komunitas film daerah.
Ketua Forum Film Karawang, Abdul Yusup, menyampaikan apresiasi kepada Forum Film Jawa Barat atas kehadirannya di Karawang, serta menyampaikan terima kasih kepada Disparbud Karawang yang telah mendukung penuh terselenggaranya acara ini.
“Kami mengucapkan terima kasih kepada Forum Film Jawa Barat yang telah mempercayakan Karawang sebagai salah satu titik singgah roadshow. Tak lupa, kami juga berterima kasih kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Karawang melalui Bidang Ekonomi Kreatif yang telah memfasilitasi tempat, konsumsi snack, dan makan bagi para peserta dan tamu undangan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman dari Komite Ekraf Karawang yang turut mendukung kelancaran kegiatan ini,” ungkap Abdul Yusup dalam sambutannya.
Pada kesempatan ini, tiga film diputar dan mendapatkan perhatian khusus dari para penonton:
Past Shadow Sutradara Lucky Jae
80’s Party Sutradara Aji Surya
Sunat Sutradara Royyan Muhammad hasbi
Pandaringan Sutradara Haedarzael
Beragam genre dan gaya penceritaan dihadirkan, mulai dari pendekatan dokumenter yang kuat hingga cerita fiksi yang menyentuh. Pemutaran film ini juga diikuti dengan sesi diskusi interaktif yang mempertemukan para pembuat film dengan penonton, membuka ruang dialog tentang proses kreatif, isu lokal, dan tantangan produksi film komunitas.
Kegiatan ini berhasil menarik minat pelaku film lokal, mahasiswa, komunitas budaya, hingga masyarakat umum yang antusias menyaksikan karya-karya film dari perspektif Jawa Barat yang autentik dan penuh warna.
Melalui Layar Tatar Pasundan, diharapkan semakin banyak potensi kreatif daerah yang bisa tumbuh dan bersinar di kancah perfilman nasional maupun internasional.(mang kosim)
Tembang-tembang cinta Dari palung jiwa terdalam Berkumandang Sambut semburat pelangi pagi
Rasakanlah kehangatan Basuhi tubuhmu Baluri sgala sendi dengan senyum wangi surgawi Oo damailah jiwa Oo damailah jiwa
Alangkah indah bila kita Tebarkan kasih pada semesta Alangkah berarti saat diri Jadi bagian alam raya ini
Mari bersama kita gali sumur nurani Agar kebeningan Terasa sejuknya terasa sejuknya Genggam berpegangan tangan Saling menjaga saling berbagi Hidup berdampingan, Damai meraja damai meraja…
Tuhan Aku datang berselendang kabut malam yang berat mengangkut ribuan ton kekecewaan makhluk-makhluk tersisih mati kehabisan nafas, dan kelaparan di negri hijau berbunga. Izinkan ku bersimpuh pada sajadah kusut masai yang legam dinoda dendam, cemburu karena laut tak lagi bening, ikan-ikan berenang di limbah jelaga dan anak-anak camar mati sebelum bisa terbang.
Tuhan Serigala tak lagi berbulu domba Setelan jas dan dasi kemewahan menghiasi penyamarannya Senyum ramah, mata haus darah, lidah menjulur, liur menetes, menerkam mencabik nasib sikecil nyinyir yang terlanjur hidup di dogma ragu dan sangsi Sang serigala tak lagi berbulu domba, taringnya disembunyikan dalam kata- kata manis muluk, dilumuri madu perdamaian dan kecerahan masa depan. “Dari rakyat” (kuperas habis keringat, darah dan akal budi demi kepentinganku) “Oleh rakyat” (derajatku ditinggikan, kedudukanku dinobatkan) “Untuk rakyat” (segala tulang belulang, sampah, limbah dan sisa-sisa berbau busuk penuh racun) Dan srigala berpesta pora gegap gempita
Dan makhluk tersisih mengais sisa-sisa demi lapar yang kian meraja Bumi tak lagi bersemi, bunga-bunga ragu mekar Ilalang kecewa dan mati kekeringan Langit tak lagi berbintang, mega-mega lupa hujan Bintang-bintang temaram dan semakin temaram
Tuhan Jalan-jalan beraspal dan jembatan beton dibangun lintang melintang Kendaraan sesak antri kemasing-masing tujuan Namun jalan ketempat-Mu begitu lenggang hanya beberapa musyafir sunyi yang kesepian dan lelah dalam hidup Ada juga mereka yang berkendaraan atas namaMu, namun kulihat hanya mengejar kursi empuk di atas bara api
Tuhan Tampuk kepemimpinan bukan lagi tampuk beban tanggungjawab bagi kemakmuran rakyat Kepemimpinan adalah mesin pencetak uang bagi kemakmuran sendiri Kaum muda dijejali idola-idola gamang dan tercetak budaya yang bukan budayanya Yang perempuan kehilangan rasa ibu di hatinya rela telanjang pamer badan tanpa harus malu demi mode jaman…….
Tuhan Kubawa keluh kesah ini padamu Karena yang bertelinga telah kehilangan pendengarannya.
VERSI LAGU
Tuhan aku datang Berselendang kabut malam Yang berat mengangkut ribuan ton kekecewaan
Mahluk-mahluk tersisih, Mati kehabisan nafas dan kelaparan di negeri, hijau berbunga
Tuhanku, ya robbi, tempatku, bersujud Tuhanku, ya robbi, arahku, bermaksud
Terimalah doa kami, ya robbi Terimalah sembah sujud kami
Terimalah doa kami, ya robbi Terimalah keluh kesah kami
Bumi tak lagi bersemi Bunga-bunga ragu mekar Ilalang kecewa dan mati Mati kekeringan
Langit tak lagi berbintang Mega-mega lupa hujan Bintang-bintang temaram Dan semakin temaram.
Seni adalah ekspresi diri yang dapat membuka mata kita terhadap dunia yang lebih luas. Bagi Bang Jack, seorang pelukis asal Karawang, seni bukan hanya soal lukisan atau bentuk visual semata, tetapi tentang kebebasan dalam berkreasi dan berbagi pesan. Melalui perjalanan kariernya yang penuh tantangan, Bang Jack telah menunjukkan bahwa seni harus inklusif, bebas dari batasan, dan bisa diakses oleh siapa saja, tidak terkecuali mereka yang baru memulai.
Seni sebagai Sarana Ekspresi Tanpa Batas
Sebagai seorang pelukis yang lebih condong pada aliran ekspresionisme, Bang Jack percaya bahwa seni harus dapat berbicara bebas, tanpa terikat oleh aturan yang kaku. Ini yang membedakan ekspresionisme dengan aliran lain seperti realisme, yang lebih mengutamakan kesamaan bentuk dengan kenyataan. Dalam wawancara, ia menyebutkan bahwa dirinya lebih nyaman dengan kebebasan yang ditawarkan ekspresionisme, di mana emosi dan ide bisa dituangkan tanpa batasan. Ini mengingatkan kita bahwa seni adalah ruang untuk bereksperimen dan menyuarakan hal-hal yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.
Peran Saung Kreasi JHB dalam Membangun Komunitas Seni
Bang Jack tidak hanya berfokus pada karyanya sendiri, tetapi juga berupaya menginspirasi generasi baru melalui Saung Kreasi JHB, sebuah tempat yang ia dirikan untuk menghilangkan senioritas dalam dunia seni. Saung Kreasi JHB menawarkan ruang bagi siapa saja untuk belajar, berdiskusi, dan berkembang tanpa adanya tekanan untuk mengikuti hierarki yang ketat. Dengan misi untuk membangun atmosfer seni di Karawang, Bang Jack menunjukkan bahwa seni adalah untuk semua orang, dari yang pemula hingga yang profesional. Keberadaan Saung Kreasi JHB menjadi bukti bahwa seni dapat berkembang ketika ada ruang untuk berkolaborasi dan berbagi ide.
Mengatasi Tantangan dan Melihat Peluang
Seperti halnya setiap seniman, Bang Jack juga menghadapi tantangan, mulai dari rasa jenuh hingga kesulitan finansial. Namun, ia menunjukkan bahwa dalam berkesenian, ketekunan dan kreativitas adalah kunci untuk bertahan. Ketika tidak ada dana untuk membeli cat, ia mencari cara lain untuk menghasilkan uang, seperti membuat mebel dari kayu. Ini menjadi pelajaran bahwa sebagai seniman, kita tidak hanya harus mengandalkan satu sumber penghasilan, tetapi harus kreatif dalam menghadapi tantangan hidup.
Harapan untuk Generasi Muda
Pesan yang dapat kita ambil dari perjalanan Bang Jack adalah untuk tidak takut mencoba dan berani bereksperimen. Seni adalah perjalanan yang tidak selalu mulus, namun konsistensi dan keberanian untuk terus berkarya akan membuahkan hasil. Melalui Saung Kreasi JHB, Bang Jack berharap generasi muda di Karawang dan sekitarnya dapat melihat seni bukan sebagai hal yang sulit diakses, tetapi sebagai sarana untuk mengungkapkan perasaan dan pandangan mereka.
Seni Sebagai Sarana Menghargai Proses Kreatif
Sebagai masyarakat, kita juga perlu lebih menghargai seni, khususnya seni lukis, dengan cara memahami proses kreatif di baliknya. Setiap karya seni adalah hasil dari kerja keras dan dedikasi seorang seniman. Oleh karena itu, membeli karya seni dengan harga yang pantas dan mengapresiasi pameran seni adalah cara kita untuk mendukung keberlangsungan seni di Indonesia.
Kesimpulan: Seni untuk Semua Orang
Bang Jack telah menunjukkan kepada kita bahwa seni bukan hanya untuk kalangan tertentu, tetapi untuk semua orang. Melalui Saung Kreasi JHB dan karya-karyanya yang menginspirasi, ia mengajarkan kita bahwa seni adalah jalan untuk bebas berekspresi, berkolaborasi, dan memperjuangkan pesan-pesan penting dalam hidup. Semoga kisahnya bisa menginspirasi lebih banyak orang, khususnya generasi muda, untuk terus berkarya dan menjaga semangat seni tetap hidup di tengah-tengah kita.(*)