Persoona.id – Di tengah hiruk pikuk kehidupan yang serba cepat, ruang sastra di Karawang membuktikan bahwa ia masih tetap berdetak. Hal ini terlihat dari tingginya antusiasme warga dalam Pementasan Membaca Puisi yang digelar di Karang Pawitan, dalam rangka memperingati Hari Jadi Karawang Ke-392.

Meskipun digelar secara sederhana, pertunjukan yang dihadiri oleh tua, muda, wanita, dan pria ini berhasil menghidupkan nilai-nilai jati diri dan meresap ke dalam kalbu para penonton yang menyaksikannya. Kehadiran mereka seolah menjadi bukti bahwa sastra menawarkan oase di tengah sulitnya pekerjaan dan ruwetnya kehidupan sehari-hari.

Sastra: Melembutkan Hati dan Mengasah Rasa

Pementasan membaca puisi ini ditegaskan bukan sekadar hiburan semata. Fungsi sastra dianggap vital dalam pembentukan karakter.

“Pertunjukan Membaca Puisi ini bukanlah barak militer yang bisa mengubah anak-anak menjadi nurut dan disiplin. Tetapi setidaknya, melalui pertunjukan puisi atau teater, sedikit demi sedikit dapat melembutkan hati, mengasah rasa, dan mempertebal kepercayaan diri,” tulis salah satu pegiat budaya dalam rilis pers yang diterima redaksi.

Keyakinan akan harapan masih tersisa. Selama seni budaya dan sastra diberi ruang untuk diapresiasi dan dihayati, maka rasa kedamaian dalam diri akan tumbuh. Lebih jauh, rasa simpati dan empati terhadap sesama akan perlahan-lahan berakar dan menguat.

Dorongan untuk Festival Teater Pelajar

Melihat besarnya animo masyarakat pada pementasan kali ini, muncul dorongan kuat bagi pemerintah daerah untuk menindaklanjuti.

Pihak-pihak pegiat budaya menilai bahwa sudah selayaknya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (DISPARBUD) Kabupaten Karawang mengusahakan waragad (dana) untuk kembali mengadakan Festival Teater Pelajar.

Pengadaan festival dinilai sebagai salah satu cara paling efektif untuk menautkan rasa hati dan melembutkan nurani generasi muda. Dengan memperkenalkan kembali seni sastra melalui festival, diharapkan nilai-nilai kemanusiaan dan jati diri masyarakat Karawang dapat terus terpelihara dan kuat./rian

Persoona.id – Karawang sekali lagi membuktikan posisinya sebagai “Tanah yang kaya akan seni dan budaya.” Pada Minggu, 24 Agustus 2025, Grand Final Jaipong Ambassador 2.0 Se-Jawa Barat (Ronggeng dan Jawara) digelar meriah di Atrium Mal Karawang Central Plaza.

Baca juga : Workshop Produksi Film di Karawang Jadi Pembuka Karawang Film Festival 2025

Acara bergengsi ini dibuka oleh Plt. Asisten Pemerintahan Kesra mewakili Bupati Karawang, dan dihadiri oleh jajaran pejabat penting, termasuk Sekretaris Daerah Karawang, H. Asep Aang Rahmatullah, serta perwakilan dari Dinas Pariwisata dan Budaya Jawa Barat dan Karawang.

Kompetisi ini menjadi panggung bagi para finalis terbaik dari berbagai daerah di Jawa Barat. Mereka unjuk gigi menunjukkan kemampuan menari Jaipong, sebuah seni tari yang telah menjadi identitas budaya masyarakat Sunda. Para finalis tidak hanya berkompetisi, tetapi juga berekspresi dan mengapresiasi seni Jaipong di hadapan juri dan masyarakat luas.

Baca juga : Kirab Budaya HUT ke-80 Provinsi Jawa Barat: Telusur Jejak Sejarah di Kota Bandung

Penyelenggaraan Grand Final Jaipong Ambassador 2.0 ini tidak sekadar menjadi ajang perlombaan, melainkan juga ruang ekspresi budaya dan edukasi bagi masyarakat. Event ini diharapkan dapat terus melestarikan dan mempromosikan Jaipong sebagai warisan budaya yang tak ternilai.(*)

Persoona.id – Guna memeriahkan dan mempersiapkan Karawang Film Festival (KFF) 2025, Bidang Ekonomi Kreatif (Ekraf) Komite Ekraf Kabupaten Karawang berkolaborasi dengan Forum Film Karawang (FFK) mengadakan sosialisasi dan workshop produksi film. Ketua FFK, Abdul Yusuf, mengungkapkan bahwa kegiatan ini merupakan bagian penting dari rangkaian persiapan menuju Karawang Film Festival (KFF) 2025 yang akan digelar pada bulan November mendatang.

Baca juga : Tujuhbelasan : Abah Sarjang

“Kegiatan workshop ini adalah upaya kami untuk mempersiapkan insan perfilman lokal,” jelas Abdul Yusuf. “Ini bagian dari rangkaian Karawang Film Festival yang puncaknya akan digelar pada bulan November mendatang.”

Workshop ini bertujuan untuk membekali para sineas muda dengan pengetahuan dan teknik produksi yang lebih baik. Hal ini diharapkan bisa mendorong lahirnya karya-karya film berkualitas dari Karawang yang siap bersaing di tingkat nasional.

Acara yang berlangsung pada hari Rabu, 20 Agustus 2025 ini, menghadirkan dua narasumber kompeten, yaitu Dara Bunga Rembulan, S.Sn., M.Sn. (Kepala Program Studi TV dan Film ISBI Bandung) dan Endang Kahfi (Praktisi Seni Media dan Peran). Keduanya membagikan pengalaman dan pengetahuan seputar teori, teknik produksi, hingga tantangan di dunia perfilman.

Baca juga : Kirab Budaya HUT ke-80 Provinsi Jawa Barat: Telusur Jejak Sejarah di Kota Bandung

Para narasumber menekankan pentingnya kreativitas, kolaborasi, dan konsistensi dalam berkarya agar film-film buatan sineas lokal mampu bersaing di tingkat nasional bahkan internasional. Dengan adanya persiapan matang seperti ini, FFK optimis KFF 2025 akan menjadi ajang yang tidak hanya merayakan kreativitas, tetapi juga mampu membangun ekosistem perfilman yang berkelanjutan di Karawang.

Persoona.id – Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 Provinsi Jawa Barat pada Selasa, 19 Agustus 2025, berlangsung meriah dengan digelarnya Kirab Budaya di Kota Bandung. Acara ini menjadi panggung bagi 27 kabupaten dan kota se-Jawa Barat untuk menampilkan kekayaan kesenian, cerita rakyat, dan parade kostum kerajaan Sunda.

Baca juga : Bupati Aep Buka Bimtek Pengawasan Koperasi Merah Putih, Perkuat Ekonomi Desa di Karawang

Bupati Karawang, H. Aep Syaepuloh SE, dan Wakil Bupati, H. Maslani, turut serta dalam kemeriahan kirab. Bupati berjalan bersama rombongan, sementara Wakil Bupati menaiki kuda, menjadi bagian dari parade ribuan peserta yang memukau.

Dengan mengusung tema “Telusur Jejak Sejarah Kerajaan dan Kemegahan Budaya di Tatar Sunda”, kirab ini mengajak masyarakat untuk mengenang kejayaan masa lalu. Para peserta yang berjumlah sekitar 3.000 orang, terdiri dari pejalan kaki, penunggang kuda, dan kereta kencana, melintasi rute sejauh 4 kilometer dari Gedung Merdeka hingga Gedung Sate.

Baca juga : Eks Kantor Kawedanaan Rengasdengklok, Saksi Bisu Pengibaran Merah Putih Pertama di Karawang

Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat, Iendra Sofyan, menjelaskan bahwa kirab ini dimulai pukul 15.00 WIB dan berlangsung selama tiga jam. Rute yang dilewati mencakup beberapa jalan bersejarah, seperti Jalan Braga dan Jalan Ir. H. Juanda, yang dipadati oleh warga yang antusias menyaksikan parade budaya ini.

Kesuksesan acara ini tidak hanya merayakan hari jadi provinsi, tetapi juga menegaskan komitmen untuk melestarikan dan mempromosikan warisan budaya Sunda kepada generasi muda dan masyarakat luas.(*)

Yang merdeka itu anda
Tertawa dengan deretan angka-angka
Bergelak senang karena naik gaji
Gaji buta gaji derita

Sementara kami
Harus susah payah berbalap karung
Menarik tambang memanjat pinang
Mandi keringat demi sesuap harap
Terkapar di lumpur keruh
Mengap-mengap tersedak pajak

Yang merdeka itu anda
Bebas mengeruk gunung mengobral laut
Menghisap minyak memanen tambang
Menukar setiap jengkal bumi
Dengan segala kemewahan

Sementara kami
Setiap hari berlomba makan kerupuk
Kerupuk janji kerupuk tipu-tipu
Tak enak dikunyah tak kenyang di perut
Menyisakan sembelit berkepanjangan

Yang merdeka itu anda
Sibuk membangun rakus mengolah serakah
Merompak kekayaan berjamaah
Hutan gunung sawah lautan
Bebas ditelan semaunya
Hakim dan hukum punya anda
Keadilan hanya kata-kata

Yang merdeka itu anda
Sementara kami
Masih merangkak ternjak-injak
Feodalisme bangsa sendiri

: Abah Sarjang

Persoona.id – Di tengah hamparan sawah dan napas sejarah perjuangan, berdiri tegak Eks Kantor Kawedanaan Rengasdengklok. Bangunan bersejarah ini menjadi saksi bisu salah satu momen paling krusial dalam perjalanan menuju kemerdekaan Indonesia. Lebih dari sekadar peninggalan kolonial, gedung ini adalah simbol semangat kebangsaan yang mengobarkan api revolusi.

Baca juga : KWT Rayakan Kemerdekaan dengan Bersihkan Cagar Budaya Rengasdengklok

Dibangun pada rentang tahun 1922-1925, kantor kewedanaan ini merupakan bagian dari kebijakan desentralisasi pemerintah Hindia Belanda. Rengasdengklok saat itu menjadi salah satu dari tujuh distrik di bawah Afdeling Karawang, yang berperan sebagai pusat administratif pemerintahan lokal yang dipimpin oleh seorang wedana.

Momen Krusial 16 Agustus 1945
Namun, peran sejarah terbesar gedung ini terjadi pada Kamis pagi, 16 Agustus 1945. Saat itu, Bung Karno dan Bung Hatta “diamankan” oleh para pemuda ke Rengasdengklok. Di tengah suasana penuh ketegangan dan diskusi, sebuah peristiwa monumental terjadi di halaman kantor ini: pengibaran Sang Merah Putih untuk pertama kalinya di tanah Karawang.

Menurut kesaksian Soejono Hadipranoto, Soncho Rengasdengklok pada masa itu, upacara pengibaran bendera dilakukan secara spontan namun penuh khidmat. “Mata saya berlinang melihat Sang Merah Putih mulai berkibar,” kenangnya. Momen penuh haru itu menjadi simbol keberanian para pejuang, yang secara tegas mengganti bendera Hinomaru Jepang dengan bendera kebangsaan Indonesia.

Baca juga : Bupati Aep Dampingi Pimpinan MPR RI Napak Tilas Sejarah di Rengasdengklok

Eks Kantor Kawedanaan Rengasdengklok hari ini menjadi pengingat bahwa semangat kemerdekaan tidak hanya lahir di Jakarta, tetapi juga bersemi dari keberanian dan keyakinan rakyat di daerah. Di tempat inilah, ruh kemerdekaan bangsa Indonesia bangkit, bahkan sebelum proklamasi resmi diumumkan. Bangunan ini bukan hanya sebuah monumen, melainkan simbol perjuangan, perlawanan, dan persatuan yang tak lekang oleh waktu.(*)

Persoona.id – Sosok pejuang yang satu ini mungkin tak setenar pahlawan nasional lainnya, namun sejarah mencatatnya sebagai pemuda tangguh yang menjadi simbol perlawanan rakyat pesisir utara Jawa Barat terhadap kolonialisme Belanda. Ia adalah Ki Bagus Jabin, seorang ulama muda karismatik yang melanjutkan perjuangan Ki Bagus Rangin.

Makam Ki Bagus Jabin terletak di tengah kompleks pemakaman umum Desa Cikampek Pusaka, Karawang. Lokasi makam berada dalam bangunan khusus yang juga menjadi tempat ziarah dan pusat kegiatan keagamaan masyarakat setempat, terutama saat malam Jumat atau bulan-bulan tertentu seperti Maulid dan Syaban.

Baca juga : Jejak Syekh Quro dan Masjid Agung Karawang: Warisan Islam Tertua di Jawa

Bangunan makam terdiri dari beberapa bagian, termasuk ruangan utama tempat jasad Ki Bagus Jabin dimakamkan. Makam beliau dilindungi kelambu putih dan jiratnya terbuat dari kayu jati, tersusun dalam tiga lapisan. Nisan makam berbentuk floral dan dihiasi ukiran geometris serta bunga timbul, dengan tinggi hampir 1 meter.

Selain makam utama, di area bangunan tersebut juga terdapat makam juru kunci, keluarga, serta seorang tokoh penting bernama Buyut Sepuh I (Panglebar Buana), yang merupakan tangan kanan sekaligus juru kunci pertama setelah wafatnya Ki Bagus Jabin.

Jejak Perjuangan Melawan Kolonial
Nama asli Ki Bagus Jabin adalah Raden Kramawangsa, keturunan bangsawan Kasepuhan Cirebon dan saudara dari Ki Bagus Rangin, seorang ulama yang memimpin pemberontakan besar terhadap pemerintah Hindia-Belanda pada awal 1800-an. Ketika Ki Bagus Rangin ditangkap pada 1812, perlawanan rakyat sempat terhenti.

Namun, pada 8 Desember 1816, perlawanan kembali menyala saat seorang pemuda berusia 16 tahun bernama Bagus Jabin memimpin sekitar 2.500 orang dari wilayah Karawang, Ciasem, dan Pamanukan untuk bangkit melawan penindasan kolonial. Mereka menyerbu wilayah Kandanghaur sebagai pusat pemerintahan lokal yang dianggap pro-Belanda.

Serangan besar itu membuat Residen Cirebon, W.N. Servatius, mengerahkan pasukan gabungan dari Priangan, Jawa Tengah, hingga Solo untuk mengepung Kandanghaur. Pertempuran pun tak terelakkan. Ki Bagus Jabin dan pasukannya sempat menggempur Indramayu, tetapi kekuatan Belanda yang jauh lebih besar akhirnya membuat pasukannya terdesak dan terkepung di Sungai Cimanuk. Sebanyak 500 orang ditangkap dan 60 tewas.

Dari Gerilyawan Menjadi Penyebar Agama
Setelah kekalahan tersebut, Ki Bagus Jabin melarikan diri dan terus melakukan perlawanan gerilya di sepanjang pesisir utara Jawa Barat. Hingga akhirnya ia menetap di sebuah dataran tinggi yang kini dikenal sebagai Desa Cikampek Pusaka, Karawang. Tempat itu dianggap strategis karena dekat dengan Sungai Citarum dan dikelilingi hutan.

Di tempat persembunyiannya ini, Ki Bagus Jabin tak hanya menyusun strategi perjuangan, tetapi juga dikenal sebagai penyiar agama Islam yang disegani. Kiprahnya dalam membimbing masyarakat dan membangun kekuatan spiritual rakyat membuatnya dikenang sebagai tokoh karismatik hingga kini.

Baca juga : Kelenteng Sian Jin Ku Po: Warisan Sejarah Tionghoa di Karawang

Pusat Ziarah dan Tradisi Budaya
Makam Ki Bagus Jabin kini menjadi salah satu pusat spiritual dan budaya masyarakat Karawang. Selain sebagai tempat ziarah, area makam ini kerap dijadikan tempat pelaksanaan ritual adat, seperti Hajat Bumi, syukuran, dan kegiatan keagamaan lainnya. Tak sedikit peziarah yang menginap di ruangan ziarah khusus untuk melakukan tawasulan.

Kehadiran makam ini tidak hanya menjadi pengingat atas jejak perlawanan terhadap penjajahan, tetapi juga simbol keteladanan spiritual seorang pemuda pejuang yang rela berkorban demi keadilan dan kemerdekaan rakyatnya./karawangkab

Persoona.id – Mengingat masa lalu berarti menyadari sejarah yang sering kali terlarut dalam emosi, romantisme, dan nostalgia. Dalam perkembangan agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di daerah Karawang, hanya sedikit bukti peninggalan yang tersisa. Meskipun demikian, para sejarawan telah berupaya keras untuk mengungkap misteri yang ada.

Kronologi sejarah Masjid Agung Karawang memberikan informasi kepada masyarakat, tidak hanya untuk membangkitkan rasa bangga memiliki Masjid Agung, tetapi juga diharapkan dapat menumbuhkan rasa tanggung jawab dalam melestarikan dan memelihara bangunan tersebut sebagai aset umat Islam. Hal ini penting untuk meningkatkan peran masjid dalam membina keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.

Baca juga : Kelenteng Sian Jin Ku Po: Warisan Sejarah Tionghoa di Karawang

Masjid Agung Karawang berada di Jl. Alun-Alun Barat No. 1, Kelurahan Karawang Kulon, Kecamatan Karawang Barat, Kabupaten Karawang. Masjid ini, yang juga dikenal sebagai Masjid Agung Syekh Quro Karawang, memiliki cerita yang menarik.

Sejarah mencatat bahwa pesantren didirikan oleh Syekh Hasanuddin (Syekh Quro), yang kemudian berkembang menjadi masjid sebagai tempat ibadah bagi umat Islam. Masjid ini terus dipelihara oleh para ulama, umaro, dan masyarakat hingga saat ini, mulai dari Bupati Pertama Adipati Singaperbangsa hingga bupati-bupati berikutnya.

Sudah lama beredar anggapan bahwa Masjid Agung Karawang didirikan oleh seorang ulama besar bernama Syekh Hasanuddin, yang lebih dikenal dengan sebutan Syekh Quro. Beliau terkenal tidak hanya karena pengetahuannya yang mendalam, tetapi juga sebagai seorang Hafizh Al-Qur’an dan qari dengan suara yang merdu.
Pada tahun 1418 M, Syekh Quro membangun sebuah mushola yang juga berfungsi sebagai pesantren, sesuai dengan tahun yang tertera pada papan nama masjid. Di pesantren inilah, beberapa waktu kemudian, dilangsungkan pernikahan santrinya yang bernama Nyi Subang Larang (dalam versi lain disebut Subang Karancang) dengan Raden Pamanah Rasa, Putra Mahkota Raja Pajajaran, yang kemudian menjadi raja dengan gelar Prabu Siliwangi.

Baca juga : Candi Jiwa: Situs Sejarah Tertua di Karawang

Anggapan ini menjadi kebanggaan bagi umat Islam, khususnya masyarakat Karawang secara umum. Hal ini wajar, mengingat masjid ini merupakan tempat pertama yang digunakan untuk mengagungkan nama Allah dan juga menjadi lokasi pernikahan agung Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi.
Ada banyak hal yang perlu diungkap, antara lain bagaimana Syekh Hasanuddin bisa tiba di Karawang pada masa pemerintahan Pajajaran yang umumnya menganut agama Hindu, serta alasan di balik pendirian mushola yang menjadi cikal bakal Masjid Agung Karawang. Mengapa Pesantren Quro tidak mengalami perkembangan, sementara pesantren di luar Karawang justru berkembang pesat? Ini menjadi tantangan bagi para sejarawan untuk menyelidikinya.

Berdasarkan data yang ada, Masjid Agung Karawang telah mengalami sejumlah pemugaran seiring berjalannya waktu. Namun, melakukan pemugaran secara menyeluruh bukanlah hal yang mudah. Hal ini disebabkan oleh keinginan sebagian ulama dan masyarakat untuk tidak mengganti semua bahan bangunan masjid. Mereka berpendapat bahwa beberapa elemen harus tetap dipertahankan atau digunakan kembali, karena masjid ini dianggap sebagai salah satu warisan Waliyullah, yaitu Syekh Quro, yang memiliki peran penting dalam penyebaran agama Islam di Karawang.

Saat ini, Masjid Agung Karawang telah mengalami perkembangan yang signifikan, baik dari segi bangunan maupun fungsi dan perannya. Meskipun tetap berfokus pada fungsi utamanya sebagai tempat untuk melaksanakan ibadah salat berjamaah, Masjid Agung Karawang juga dimanfaatkan untuk kepentingan sosial, seperti sebagai tempat belajar dan mengajar. Masjid merupakan simbol dan identitas umat Islam yang mencerminkan nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu, berbagai kegiatan di masjid seharusnya tidak hanya berfokus pada ibadah yang bersifat ukhrawi, tetapi juga mengintegrasikan aktivitas ukhrawi dan duniawi. Dengan pendekatan filosofis, perpaduan antara tema wisata sejarah dan religi menjadi penting. Dalam hal ini, bangunan masjid tetap berfungsi sebagai tempat ibadah bagi umat Muslim.

Baca juga : Temuan Menarik: Bebatuan Aneh di Pegunungan Sanggabuana

Kita tentu berharap agar Masjid Agung yang didirikan enam abad yang lalu dapat menjadi panutan bagi masjid-masjid lainnya dalam upaya mewujudkan Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur.

Syekh Quro Membangun Masjid Pertama di Pulau Jawa

Syekh Hasanuddin, putra Syekh Yusup Sidik, seorang ulama besar dari Campa, tiba di Cirebon dan disambut oleh Ki Gedeng Tapa untuk menyebarkan agama Islam. Namun, karena tidak disukai oleh Raja Pajajaran, Prabu Angga Larang, Syekh Hasanuddin terpaksa kembali ke Malaka. Di sana, Nyi Subang Larang, putri Ki Gedeng Tapa yang baru berusia 12 tahun, dititipkan untuk belajar agama Islam.

Dalam perjalanan keduanya dari Malaka ke Pulau Jawa, Syekh Hasanuddin dan muridnya, Nyi Subang Larang, menyusuri Sungai Citarum dan akhirnya mendarat di Pelabuhan Bunut Karawang, yang kini dikenal sebagai Kampung Bunut.
Dengan izin dari penguasa setempat, dibangunlah sebuah tempat tinggal dan lokasi untuk mengaji yang kemudian dikenal sebagai Pesantren Quro (sekarang Masjid Agung) pada tahun 1418 M. Namun, Prabu Angga Larang, Raja Pajajaran, tetap melarang Syekh Hasanuddin, yang kini lebih dikenal sebagai Syekh Quro. Untuk itu, ia mengutus putra mahkota, Prabu Pamanah Rasa, untuk menutup Pesantren Quro.

Setibanya di Pesantren Quro, Pamanah Rasa terpesona oleh alunan ayat suci Al-Qur’an yang dibacakan oleh Nyi Subang Larang. Niatnya untuk menutup pesantren tersebut pun dibatalkan, dan Prabu Pamanah Rasa melamar Nyi Subang Larang. Lamaran tersebut diterima dengan dua syarat: pertama, mas kawin yang harus diberikan adalah Bintang Saketi (Bintang Kerti), simbol tasbih, yang mengharuskan Prabu Pamanah Rasa memeluk Islam. Kedua, salah satu keturunan dari anak yang dilahirkan harus menjadi Raja Pajajaran.

Dengan syarat tersebut disetujui, pernikahan pun dilaksanakan di Pesantren Syekh Quro atau Masjid Agung yang ada sekarang, dengan Syekh Quro sebagai penghulu (pada saat itu, Nyi Subang Larang berusia 14 tahun). Setelah diangkat menjadi Raja Pajajaran, Pamanah Rasa bergelar Prabu Siliwangi.
Dari pernikahan ini, mereka dikaruniai tiga orang anak, yaitu Raden Walangsungsang, Nyi Mas Rara Santang, dan Raden Kian Santang. Raden Walangsungsang, putra Raja Pajajaran yang menguasai Cirebon, bergelar Cakra Ningrat atau Cakra Buana.

Ketika Raden Walangsungsang dan Nyi Mas Rara Santang menuntut ilmu di Mekah, Nyi Mas Rara Santang dipersunting oleh seorang bangsawan Mekah, Syekh Syarif Abdillah. Setelah menikah, namanya diubah menjadi Syarifah Mudaim, dan mereka dikaruniai dua orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Narullah.
Pada tahun 1475 M, Syarifah Mudaim dan putranya, Syarif Hidayatullah, kembali ke Pulau Jawa, tepatnya ke Cirebon. Mengingat Pangeran Cakra Buana sudah lanjut usia, pemerintahan diserahkan kepada Syarif Hidayatullah, yang kemudian dikenal dengan gelar Sunan Gunung Jati.

Baca juga : Sejarah Awal Berdirinya Karawang dan Peranannya dalam Lintas Zaman

Sebagai perbandingan, masjid tertua di Jawa adalah Masjid Agung Karawang, yang didirikan sekitar tahun 1418 M oleh Syekh Quro. Selanjutnya, ada Masjid Agung Sunan Ampel yang dibangun pada tahun 1421 M, serta Masjid Agung Cirebon yang dikenal juga sebagai Masjid Agung Sang Cipta Rasa atau Masjid Sunan Gunung Jati, yang didirikan pada tahun 1498 M dan merupakan bagian dari kompleks Keraton Kasepuhan Cirebon. Selain itu, Masjid Agung Demak diperkirakan dibangun pada tahun 1477 M, yang terkait dengan Raden Patah, raja pertama Kerajaan Demak, dan didukung oleh para Walisongo. Keempat masjid ini memiliki ciri khas arsitektur masing-masing, yaitu bentuk joglo dengan empat tiang utama (soko guru) dan atap limas bersusun tiga, yang melambangkan iman./mang kosim

Sumber : OBAR SUBARJA (Ketua TACB / Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Karawang)

Persoona.id – Di tengah hiruk-pikuk Kota Karawang, berdiri sebuah tempat ibadah tua yang sarat sejarah dan makna budaya — Kelenteng Sian Jin Ku Po, yang terletak di Jl. Muhammad Toha No.9, Tanjungmekar, Karawang Barat. Berdasarkan penuturan para sesepuh, kelenteng ini telah eksis sejak abad ke-17, menjadikannya salah satu bangunan ibadah tertua di kawasan tersebut, bahkan dikenal hingga ke luar daerah Karawang.

Baca juga : Layar Tatar Pasundan Hadirkan Film Komunitas di Karawang

Nama “Sian Jin Ku Po” berasal dari sosok spiritual Mak Ku Po, yang dalam tradisi Tionghoa Indonesia berarti “nenek suci”. Mak Ku Po dikenal sebagai perempuan berhati mulia yang gemar menolong sesama semasa hidupnya di Tiongkok. Setelah wafat, abunya dibawa oleh tiga marga Tionghoa: Lauw, Tjiong, dan Khouw, yang merantau dari wilayah Sungai Huang Ho. Mereka melintasi samudra, menepi di muara Cabangbungin (kini masuk wilayah Bekasi), lalu menyusuri Sungai Citarum hingga mencapai pertemuan Sungai Cibeet dan Citarum — tempat mereka akhirnya menetap dan membangun kelenteng.

Kelenteng ini mengalami sejumlah pemugaran. Renovasi besar kedua dilakukan pada 1791, di mana arah pintu diubah dari barat ke timur sesuai petunjuk hong sui (feng shui). Tahun 1830, altar utama dipindahkan sekitar 100 meter. Renovasi besar berikutnya dilakukan antara 1863–1865, menghasilkan bangunan permanen dari batu bata. Terakhir, pada tahun 1985, dilakukan pemugaran modern yang masih berdiri hingga kini. Segala aktivitas kelenteng kini dikelola oleh Yayasan Sian Djin Ku Poh.

Bangunan ini memiliki sembilan altar utama. Altar pertama memuliakan Tuhan Yang Maha Esa, yang dikenal dalam berbagai istilah seperti Sang Hyang Adi Buddha, Thian Kung, atau Shang Di. Altar kedua adalah Sam Kwan Tay Tee, pemujaan kepada tiga penguasa alam: langit, bumi, dan air. Altar ketiga, Mun Sen, menampilkan sepasang malaikat penjaga pintu, lazim dilukis di daun pintu kelenteng.

Masuk lebih dalam, pengunjung akan tiba di altar utama: Sian Djin Ku Poh, dewa pelindung yang diyakini sebagai penjaga para perantau dari Provinsi Kwang Tung dan Fu Kian. Di altar ini terdapat tiga hiolo, salah satunya terbuat dari batu hitam berusia ratusan tahun. Altar kelima, To Tie Kong atau Tu Tie Pa Kung, menggambarkan dewa tua berjanggut putih bersama harimau penjaga. Altar ini diyakini mampu menangkal roh jahat.

Di sisi kanan ruang utama, terdapat altar Sakyamuni Buddha (Se Jia Mou Ni Fo). Di bagian belakang kelenteng berdiri altar Si Im Po Sat, Dewi Welas Asih yang populer di kalangan penganut Taoisme dan umat Buddha Asia Tenggara. Altar Liung Shen Pa Kung dan Lei Shen mewakili kekuatan alam, pengatur hujan dan halilintar. Altar terakhir, Fu De Zheng Shen, merupakan simbol kemakmuran dan kesejahteraan, sering diasosiasikan dengan dewa bumi.

Baca juga : Perayaan Kirab Cap Go Meh 2576/2025 di Kabupaten Karawang Berlangsung Meriah

Kelenteng Sian Jin Ku Po bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga situs sejarah yang mencerminkan jejak peradaban Tionghoa di tanah Jawa Barat. Ia menjadi saksi bisu perjalanan budaya, keyakinan, dan semangat gotong royong yang menyatukan masyarakat lintas etnis selama lebih dari tiga abad./mang kosim

Sumber : Obar Subarja ( Ketua TACB / Tim Ahli Cagar Budaya Kabupaten Karawang )

Persoona.id – Sebuah ruang apresiasi bagi karya-karya sineas komunitas dari berbagai daerah di Jawa Barat hadir di Karawang! Forum Film Jawa Barat bekerjasama dengan Forum Film Karawang menyelenggarakan pemutaran film bertajuk Layar Tatar Pasundan pada Rabu, 28 Mei 2025, bertempat di Aula Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Karawang.

Baca juga : 1.800 Lowongan Dibuka di Gebyar Jobfair Karawang 2025 Secara Online

Acara ini merupakan bagian dari program Roadshow Apresiasi Film Jawa Barat, yang bertujuan untuk memperkenalkan karya-karya film pendek, baik fiksi maupun dokumenter, kepada publik sekaligus membangun jejaring antar komunitas film daerah.

Ketua Forum Film Karawang, Abdul Yusup, menyampaikan apresiasi kepada Forum Film Jawa Barat atas kehadirannya di Karawang, serta menyampaikan terima kasih kepada Disparbud Karawang yang telah mendukung penuh terselenggaranya acara ini.

“Kami mengucapkan terima kasih kepada Forum Film Jawa Barat yang telah mempercayakan Karawang sebagai salah satu titik singgah roadshow. Tak lupa, kami juga berterima kasih kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Karawang melalui Bidang Ekonomi Kreatif yang telah memfasilitasi tempat, konsumsi snack, dan makan bagi para peserta dan tamu undangan. Terima kasih juga kami sampaikan kepada teman-teman dari Komite Ekraf Karawang yang turut mendukung kelancaran kegiatan ini,” ungkap Abdul Yusup dalam sambutannya.

Pada kesempatan ini, tiga film diputar dan mendapatkan perhatian khusus dari para penonton:

  • Past Shadow Sutradara Lucky Jae
  • 80’s Party Sutradara Aji Surya
  • Sunat Sutradara Royyan Muhammad hasbi
  • Pandaringan Sutradara Haedarzael

Beragam genre dan gaya penceritaan dihadirkan, mulai dari pendekatan dokumenter yang kuat hingga cerita fiksi yang menyentuh. Pemutaran film ini juga diikuti dengan sesi diskusi interaktif yang mempertemukan para pembuat film dengan penonton, membuka ruang dialog tentang proses kreatif, isu lokal, dan tantangan produksi film komunitas.

Baca juga : Kang Lili Mahali Serap Aspirasi Guru Madrasah Saat Reses di Cilebar

Kegiatan ini berhasil menarik minat pelaku film lokal, mahasiswa, komunitas budaya, hingga masyarakat umum yang antusias menyaksikan karya-karya film dari perspektif Jawa Barat yang autentik dan penuh warna.

Melalui Layar Tatar Pasundan, diharapkan semakin banyak potensi kreatif daerah yang bisa tumbuh dan bersinar di kancah perfilman nasional maupun internasional.(mang kosim)